Rabu, 15 Januari 2014

Hellouuww...??

Ada "pemandangan" yang sering membuat saya gundah. Seorang anak sedang duduk di dekat bundanya, sementara bundanya sedang "asyik" curhat dengan kawannya. Isi curhatnya kira-kira begini:
         "Aduh, anakku itu susah sekali dikasitau!"
         "Anakku itu buandel buanget, jeng. Pusing aku!" 
         "Aku stres ngadepin si kecil! Gak doyan makan!"
Ditambah ekspresi wajah yang depresi dan suara berat, dengan "semangat" bundanya menggambarkan setiap keluhan dengan rinci. Durasinya pun biasanya tidak bisa sebentar. Anak di sampingnya? Menjadi "penonton dan pendengar" yang baik.
       
Helllouuw...??



Bunda, sadarkah kita? Itu ada anak kita, bukan patung, kan? Dia sedang menyaksikan, lho! Betapa pun muda usianya, anak mengerti ketika dirinya sedang dibicarakan. Meski tampaknya dia tidak sedang memperhatikan, karena mungkin sedang bermain, mata dan telinganya sanggup menangkap sinyal lebih dalam. Dia melirik, menyaksikan bagaimana bundanya sendiri (tanpa sadar) sedang membuat citra buruk tentang dirinya. 
       
Sejauh itukah? Yap!
      
Pertama, karena kata-kata menegaskan pikiran. Ketika Bunda mengucapkan hal-hal yang buruk, otak segera mencari "tombol" negatif. Menekannya, lalu memutarnya., Muncullah sejumlah rekaman; saat mengomeli anak karena menginjak lantai yang baru saja dipel, mencapnya bandel ketika dia memetik bunga di rumah tetangga, atau ketika menakut-nakutinya dengan cerita monster karena tidak mau makan. Sayangnya lagi, rekaman gambar itulah yang akan selalu muncul, setiap kali Bunda hanya memandangnya, meski ia tidak sedang melakukan keburukan. Yang tadinya hanya sesekali susah dikasitau, menjadi selalu susah dikasitau. Pernah bandel, menjadi bandel beneran. Terkadang susah makan, menjadi susah makan beneran. Citra buruk terbentuk. 

Kedua, karena lingkungan mempengaruhi konsep diri anak. Bila anak sering mendengar kalimat buruk tentang dirinya, maka begitulah dia memahami dunia. Pertama kali, dia mendengar perilakunya menjadi bahan obrolan ketika bundanya menelepon. Yang kedua, saat bundanya ngobrol dengan bunda lain di tukang sayur. Sekali, dua kali, lalu berkali dalam sehari. Sedemikian, hingga anak akan berkata pada dirinya: saya memang anak yang susah dikasitau, saya memang anak bandel, saya memang susah makan. Masalahnya, ucapan bundanya adalah ucapan yang dia percayai sejak kecil.

Ketiga, ungkapan "children see children do"  selalu berlaku. Artinya, anak akan lebih mudah meniru perilaku daripada menuruti kata-kata. Anak mampu menilai. Tanpa sadar, Bunda sebenarnya sedang "mengajarkan" dua hal. Pertama, keberadaan anak kita tidak lebih penting daripada kawan Bunda. Dia mungkin akan berpikir, "Oh, kalau Bunda sedang membicarakan diriku, meskipun aku tidak suka, aku harus diam saja,". Atau mungkin, "Ah aku tidak penting. Buktinya Bunda tidak menanyakan pendapatku." Hal lainnya, bercerita tentang keburukan orang lain seolah adalah hal yang biasa saja. Ah, tentu kita sepakat bukan nilai-nilai seperti ini yang ingin kita tanamkan.

Jadi?

Jangan mudah mengeluh!  Be creative, Bun!

Anak susah dikasitau. Seperti apa sih, persisnya? Kalau Bunda menasehati saat anak sedang menonton TV, atau mungkin baru saja masuk rumah sepulang sekolah, ya jelas bukan susah namanya. Bunda yang kurang memahami situasinya. Kalau ingin didengarkan anak, pastikan hanya suara Bunda yang terdengar dan menjadi konsennya. Cari caranya. Matikan TV, atau panggil mendekat, lalu bicara baik-baik. Posisi berhadapan dan saling berpandangan lebih baik lagi. Bila tidak memungkinkan, pastikan saja nasehat Bunda dipahami olehnya. Tanyakan, jangan hanya mengira-ngira. Tetapi, kalau Bunda bicara panjang lebar sambil asyik nonton TV juga atau sedang BBM-an, ya jangan salahkan anak. Mengapa? Karena secara visual Bunda memberi gambaran tidak sungguh-sungguh menasehati. Perhatian Bunda terbagi. Dalam hati mungkin anak  akan berkata, "Bunda sebenarnya ngomong sama siapa, sih? Aku, TV atau BB-nya?"

Perhatikan pula topik apa yang ingin Bunda sampaikan. Untuk anak remaja, usahakan bicara di tempat yang agak tertutup ketika membicarakan hal yang menyangkut privasinya. Di kamar misalnya. Hal ini akan mengajarkan kepada dia, bahwa Bunda menghargai privasinya. Sekaligus menunjukkan contoh bahwa tiap masalah bisa dibicarakan baik-baik, tanpa harus berteriak misalnya.

Bandel. Apa, sih, bandel itu? Apakah memetik bunga tetangga berarti bandel? Mungkin bunga itu begitu menarik keingintahuannya. Ia sangat ingin memiliki, sehingga tangannya  bergerak refleks memetik. Jika anak Bunda masih balita dan kejadian ini begitu cepat, pastikan Bunda menahan sejenak rasa kaget. Sampaikan dulu maaf kepada tetangga karena ketidaktahuan Bunda dan ketidaksengajaan anak. Ajak anak untuk menyampaikan langsung permintaan maafmya (sebenarnya, tidak semua orang keberatan bunganya dipetik,kok). Setelah kembali ke rumah, bicaralah kepadanya. Tanyakan mengapa dia melakukan itu. Jangan lupa memosisikan badan sama tinggi dengan anak. Selain agar Bunda lebih fokus, akan mengurangi kesan superior orangtua di matanya. Ini penting ketika nasehat Bunda ingin didengar.

Bagaimana dengan susah makan? Ini masalah klasik. Makan apa dulu? Dalam situasi apa Bunda mengambil kesimpulan susah itu? Mungkin Bunda saja yang kurang kreatif mengolah masakan untuk anak. Tanya orangtua resep apa yang beliau dulu sering berikan ke Bunda sewaktu kecil. Coba resep baru, kreatiflah mengolah bahan. Kalau malu bertanya, cari di internet. Tinggal klik. Masih malas juga? Ter...la...lu...hehe..

Baca, deh, buku atau majalah tentang pola makan anak. Cari tahu apa makanan favoritnya, dan jangan mudah menyerah. Jika sekali waktu dia tidak ingin makan sayur atau ikan, cobalah di lain waktu. Dengan resep kreatif. Saya beri contoh,  Perkedel Tuna Bayam. Bumbu dan bahan dasarnya sama seperti perkedel kentang biasa. Namun, ditambahkan sedikit ikan tuna matang halus dan bayam seduh yang dicincang halus pula. Campur semua bahan,  bentuk bola-bola atau bentuk apapun sesuai kreatifitas Bunda. Simpan sejenak di kulkas, goreng ketika akan disajikan. Resep yang sederhana dan praktis, namun memenuhi gizi seimbang. Karbohidrat dari kentang, protein dari ikan, dan sayur bayamnya menyumbang vitamin.

Di sisi lain, berhati-hatilah dalam berbicara. Biasakan berbicara  yang positif. Meskipun sedang bingung dengan masalah anak, Bunda harus bisa menguasai emosi. Berusahalah cermat memilih kata yang akan kita ucapkan. Meski terkadang situasi obrolan memancing tanpa sadar  untuk membicarakan perilaku buruk anak, cepat sadari. Berhentilah sejenak bercerita dan tarik napas. Segera alihkan topik pembicaraan, atau katakan terus terang kepada kawan bicara dengan setengah berbisik, bahwa Bunda tidak enak hati dengan anak Bunda yang berada di dekat situ, dan tidak ingin anak itu mendengar tentang keburukannya. Kawan tersebut pasti mau memahami. Hal ini, secara tidak langsung, mengajarkan kepada kawan kita bagaimana menghargai anak dalam situasi tersebut.

So, mengurus anak itu bukan hanya tentang repot. Mengurus anak adalah juga tentang bagaimana menghargainya.

Saya jadi teringat nasehat Richard Templar dalam bukunya "The Rules of Parenting": "Menghargai mereka tidak akan menurunkan otoritas Anda. Jika Anda mencintai anak-anak Anda lebih daripada orang lain (kecuali pasangan Anda), maka mereka berhak mendapatkan penghargaan lebih besar daripada orang lain, bukan lebih kecil. Dengan begitu, mereka juga akan belajar caranya menghargai orang lain."

Yuk, menghargai anak!

Salam.


        
      


4 komentar:

  1. Setuju banget. Memang berkata tentang anak harus hati2 yah karena membentuk mindset mereka, termasuk membentuk mindset kita juga sbg org tua.
    suka sekali dgn kata2 ini:mengurus anak itu bukan hanya tentang repot. Mengurus anak adalah juga tentang bagaimana menghargainya.

    BalasHapus
  2. Yap bu, terkadang kita konsen pada mengeluh-nya, lupa menyadari tugas meneladani dan mensyukurinya.

    BalasHapus
  3. nice posting, bisa jadi pengingat buat diriku, karena aku masih suka esmosi ihiks..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...wajar kok bu, yang penting kita selalu cepat2 sadari, ingatkan diri sendiri bahwa selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah.

      Hapus